Memaknai Pekan Tuli Internasional: Sejarah Bahasa Isyarat
Memaknai Pekan Tuli Internasional: Sejarah Bahasa Isyarat 23 September, Berikut Sejarah Dan Tema 2025 (Sumber: POSKOTA.CO.ID/https://share.google/EGD3XMhdNUnMOEpit)
Pendahuluan
Setiap tanggal 23 September, dunia memperingati Hari Bahasa Isyarat Internasional yang ditetapkan oleh PBB untuk menghormati berdirinya World Federation of the Deaf (WFD) pada tahun 1951. Peringatan ini bertujuan mengingatkan pentingnya bahasa isyarat dan memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas, khususnya komunitas Tuli.
Tema dan Makna
Tahun 2025 mengusung tema "No Human Rights Without Sign Language Rights" (Tidak Ada Hak Asasi Manusia tanpa Hak Bahasa Isyarat). Tema ini menegaskan bahwa bahasa isyarat merupakan fondasi penting bagi penyandang Tuli untuk menikmati hak asasi manusia secara penuh, sejalan dengan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas tahun 2006.
Menurut data WFD, terdapat lebih dari 70 juta orang Tuli di dunia, dengan 80% di antaranya tinggal di negara berkembang. Saat ini ada lebih dari 300 bahasa isyarat yang digunakan secara global.
Bahasa Isyarat Di Indonesia:
Di Indonesia, dikenal dua bahasa isyarat: SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia) dan Bisindo (Bahasa Isyarat Indonesia).
- SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia): Dikembangkan oleh orang dengar dengan mengadaptasi American Sign Language, diakui secara resmi melalui SK Kemdikbud tahun 1994, dan digunakan di sekolah-sekolah.
- Bisindo (Bahasa Isyarat Indonesia): Muncul secara alami dari komunitas Tuli, lebih banyak digunakan dalam komunikasi sehari-hari meski belum diakui pemerintah.
Penelitian Nugraheni dkk (2021) dan Putri dkk (2024) menunjukkan bahwa Bisindo lebih mudah dipahami dan dipraktikkan oleh komunitas Tuli. SIBI dinilai lebih kompleks dan kurang fleksibel. Penelitian terbaru oleh Sari dkk (2023) mengembangkan teknologi pengenalan bahasa isyarat menggunakan machine learning dengan basis Bisindo.
Subtema Harian Pekan Tuli Internasional
Selama sepekan, komunitas Tuli di seluruh dunia bersama pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan mitra lain akan mendorong isu-isu kunci dengan subtema harian:
- Senin, 22 September: Komunitas Tuli sebagai pemimpin dengan dukungan pemerintah dan organisasi lain
- Selasa, 23 September: Penegasan bahwa tanpa hak bahasa isyarat, penyandang Tuli tidak bisa menikmati hak asasi sepenuhnya
- Rabu, 24 September: Pentingnya pendidikan multibahasa yang inklusif dan sesuai budaya bagi pelajar Tuli
- Kamis, 25 September: Jaminan akses informasi dalam bahasa isyarat pada situasi darurat dan bencana
- Jumat, 26 September: Dorongan pengakuan hukum resmi terhadap bahasa isyarat nasional
- Sabtu, 27 September: Hak penyandang Tuli atas layanan akses bahasa isyarat, termasuk penerjemah profesional
- Minggu, 28 September: Menatap masa depan dengan inovasi dan kolaborasi global untuk dunia yang lebih inklusif
Cara Merayakan
Pekan Tuli Internasional dapat dirayakan dengan berbagai cara, baik oleh komunitas Tuli maupun masyarakat umum, di antaranya:
- Mengikuti seminar, diskusi, atau lokakarya tentang hak-hak Tuli
- Mempelajari dasar bahasa isyarat dan menggunakannya dalam komunikasi sehari-hari
- Mengadakan kampanye kesadaran publik melalui media sosial
- Mendukung kegiatan komunitas Tuli lokal seperti pertunjukan seni atau pameran budaya
- Mendorong institusi pendidikan dan pekerjaan menyediakan akses bahasa isyarat
- Berkolaborasi dengan organisasi Tuli dalam kegiatan sosial maupun advokasi
Perspektif Komunitas Tuli
Menurut dua orang pengurus Gerakan Kesejahteraan Tuli Indonesia (Gerkatin) Kota Yogyakarta, Dhomas Erika Ratnasari dan Laksmayshita Khanza Larasati Carita, perayaan ini sangat berarti.
Keduanya memaknai Pekan Tuli Internasional sebagai lagu sunyi yang berbisik. Bahwa setiap tanda, setiap gerak tangan, adalah bahasa jiwa yang layak didengar. “Bahasa isyarat bukan hanya sarana. Ia adalah rumah tempat identitas, budaya, dan hak hidup berkumpul. Ketika dunia membuka ruang bagi bahasa itu, maka terbukalah juga jalan bagi martabat, pendidikan, dan kebebasan bagi saudara-saudara kita yang Tuli,” ujar Shita yang diiyakan Dhomas.
Mereka menyerukan, “Mari kita rayakan pekan ini bukan sekadar dengan kata-kata, melainkan dengan sikap. Memberi ruang, menjunjung pengakuan, dan hadir dalam bahasa yang mereka gunakan. Karena keadilan sejati dimulai saat kita mau belajar melihat dan berbicara, dengan tangan yang penuh makna.
Penutup
Pekan Tuli Internasional 2025 menjadi pengingat bahwa pengakuan dan akses bahasa isyarat bukan hanya soal komunikasi, melainkan soal keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan. Masyarakat diajak untuk mempelajari bahasa isyarat baik SIBI maupun Bisindo agar dapat berkomunikasi lebih baik dengan teman Tuli.
Referensi
Ditha Prasanti, (23-09-2024). Hari Bahasa isyarat internasional: komunikasi tanpa suara (S-1 ILMU KOMUNIKASI). Fakultas Ilmu Komunikasi
https://share.google/VqUWc3NGvz9j2x2pU
Solidernews.com, Yogyakarta., (19-09-2025). Pekan Tuli Internasional 2025: Menggaungkan Hak Bahasa Isyarat sebagai Hak Asasi
https://share.google/ZqMDn7yJrVPv8BSKa